Lagi berselancar di dunia maya, menemukan sebuah artikel yang inspiratif :)
***
Saya
dilahirkan dari keluarga yang religius, orang tua saya pemuka agama di
pinggiran kota Bandung. Setelah lulus kuliah saya mendedikasikan hidup
untuk melayani masyarakat di banyak kegiatan sosial, sama seperti
pekerjaan orang tua saya. Saya masih sangat muda ketika orang tua
menikahkan saya dengan gadis pilihan mereka, yang kebetulan juga gadis
idaman saya, seorang wanita dari Medan, cantik parasnya dan rendah hati.
" Kami terbiasa untuk selalu kelihatan rukun meski sebenarnya kami tidak pernah bicara satu dengan yang lain."
Setelah
menikah kami pindah ke Medan. Di sana kami dikenal sebagai keluarga
pemuka agama muda. Saya sehari-harinya melayani penduduk setempat di
bidang sosial kemasyarakatan dan banyak dipanggil orang ke sana ke mari
untuk memberikan ceramah, mulai dari komunitas di Banjarmasin,
Gorontalo, bahkan sampai ke luar negeri. Saya sering dipanggil
berceramah Sydney, London, bahkan Copenhagen, L.A. dan New York. Begitu
sibuknya saya sampai-sampai tidak mengenal istri saya. Dari situ
mahligai pernikahan kami mulai diterpa badai, kami seperti dua orang
asing yang tidur seranjang dan tidak pernah ada komunikasi. Hanya
menutup mata dan bangun sambil saling tidak peduli.
Di luar banyak
orang menilai kami berdua adalah pasangan yang harmonis dan penuh kasih
sayang, tetapi sesungguhnya kami hanya berakting karena posisi kami
sebagai pemuka agama yang cukup terpandang. Kami terbiasa untuk selalu
kelihatan rukun meski sebenarnya kami tidak pernah bicara satu dengan
yang lain. Suatu hari kami sepakat untuk berpisah, karena kami merasa
tidak harmonis lagi. Pernikahan kami tidak dikaruniai anak, banyak orang
mengira itu penyebabnya, tetapi bukan karena itu kami berpisah.
Perpisahan ini semata-mata karena kami berdua sudah tidak tahan satu
dengan yang lain. Hati saya sebenarnya tidak mau cerai karena buat agama
saya, perceraian adalah tidak mungkin karena apa yang disatukan Allah
tidak boleh diceraikan oleh manusia. Istri saya pun demikian, dia tidak
siap dengan perceraian apalagi kami berdua adalah pemuka agama. Tetapi
semua tidak dapat dielakkan. Delapan tahun usia pernikahan kami ketika
kami berpisah.
***
Saya
kembali ke Bandung setelah perceraian itu, pelan-pelan saya mulai
membangun kredibilitas saya dan mulai aktif dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan lagi. Beberapa tahun kemudian saya bertemu seorang wanita
keturunan Cina asal Semarang dan kami menikah. Tetapi perkawinan ini
tidak bertahan lama, hanya 3 tahun karena istri saya dipanggil Tuhan.
Saya
dengar mantan istri saya di Medan juga menikah lagi dengan seorang
pengusaha. Setelah itu saya tidak pernah lagi menerima kabar mengenai
dirinya, tidak tahu dia di mana, tidak tahu bagaimana keadaannya.
Bertahun-tahun saya sendiri, saya tidak punya hasrat untuk menikah lagi.***
Suatu pagi, di tahun 1975, saat usia saya menjelang 45 tahun, saya menerima sebuah undangan dari orang yang tidak saya kenal untuk berceramah di Beijing, Cina. Di tahun itu Cina adalah negara yang benar-benar anti agama, dan saya agak ngeri berangkat ke sana. Saya bergejolak antara berangkat atau tidak, tetapi akhirnya saya putuskan berangkat. Saya diundang untuk berceramah di depan keluarga kaya raya asal Medan yang tinggal ibunya meninggal dan dimakamkan di Beijing. Mereka sedang yang memperingati 1 tahun kematian ibu mereka.
Acaranya
diadakan di tempat pemakaman, yang jauh dari mana-mana. Setelah
menjalankan tugas, saya merenung. Orang-orang semua sudah jalan kembali
ke mobil, saya masih tetap berdiri di depan makam sang ibu itu. Saya
bertanya-tanya mengapa saya ada di sini, di tempat yang jauh, diundang
oleh orang yang tidak saya kenal. Mereka bisa mencari penceramah lain,
tidak harus saya.
"Kami yakin ini semua adalah rencana-Nya karena Allah tidak setuju dengan perceraian."
Kemudian
samar-samar saya melihat ada wanita di kejauhan sedang berdiri di depan
sebuah makam. Saya tergerak untuk berjalan mendekat. Jaraknya cukup
jauh, mungkin 300-an meter dari tempat saya berdiri. Ketika semakin
dekat, saya dengar wanita tersebut menangis. Saya tidak bisa bicara
dalam bahasa Mandarin, jadi saya menyapanya dengan bahasa Inggris:
"Madam, why are you crying alone here? Anything I can help?"
Wanita
itu diam tertunduk sambil menutup mukanya dengan sapu tangan. Saya
merasa iba melihatnya sendirian di tempat itu. Kemudian.. Alangkah
terkejutnya saya ketika wanita itu mengangkat kepalanya! Dia melihat
saya dengan tertegun juga.. Dia adalah mantan istri saya yang sudah 11
tahun tidak pernah bertemu dan entah bagaimana kami bisa bertemu di
tempat yang asing dan tidak lazim seperti ini.
Saat itu juga hati
saya bergetar. Saya tahu ini rencana Tuhan, mempertemukan saya kembali
dengan dia. Saya langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan,
"Mengapa kamu di sini? Apa yang kamu kerjakan? Siapa yang meninggal?"
"Suamiku. Suamiku meninggal beberapa tahun lalu saat bertugas di Beijing. Aku datang ke sini berziarah."
Hati
saya semakin berdegup kencang, saya benar-benar yakin kalau kami memang
dipertemukan kembali. Kami berbincang-bincang beberapa lama dan dia pun
merasakan apa yang saya rasakan. Saya mengajaknya pulang bersama-sama
dengan rombongan saya, dan sepanjang jalan kami bercerita pengalaman
kami selama 11 tahun terakhir.
***
Sepulang
dari Beijing, kami memutuskan untuk menikah lagi. Kami merasa bahwa
Allah telah mempertemukan kami kembali. Kami yakin ini semua adalah
rencana-Nya karena Allah tidak setuju dengan perceraian.
Sampai
hari ini usia pernikahan kami yang kedua sudah 37 tahun, usia saya sudah
82 tahun. Sungguh pernikahan yang sangat indah, kami benar-benar hidup
dalam keharmonisan dan cinta kasih yang mendalam.
Kami semakin percaya, bahwa apa yang disatukan oleh Allah tidak bisa diceraikan oleh manusia...
Subhanallah, ALLAH yang Maha Berkuasa. Jika Ia sudah berkehendak apapun akan terjadi :))
Sumber : Perpisahan yang ditolak Allah
No comments:
Post a Comment