Friday, October 23, 2015

TULISAN 2 - ANTARA ASAP DAN SEPAK BOLA

"Jakarta Siaga 1 jelang final Piala Presiden, Car Free Day normal" begitulah salah satu headline di detik.com 

Hari Minggu kemarin tepatnya tanggal 18 Oktober 2015 digelar sebuah pertandingan Piala Presiden 2015 di Gelora Bung Karno Jakarta. Pertandingan final antara Sriwijaya FC dan Persib Bandung. Seperti yang telah kita ketahui bahwa antara pendukung Persija dan Persib selalu saja tidak akur, maka untuk mencegah terjadinya kerusuhan atau keributan, Polda Metro Jaya menurunkan 9.000 personel dan memberlakukan siaga 1 untuk mengamankan pertandingan tersebut. 

Padahal di Sumatera, Kalimantan bahkan sekarang semakin menyebar ke Maluku, Sulawesi dan Papua tengah terjadi kebakaran hutan yang kabarnya dilakukan secara sengaja untuk kemudian dijadikan perkebunan sawit. Peristiwa ini sudah terjadi kurang lebih selama 3 bulan dan telah memakan korban jiwa. Sungguh sangat mengherankan karena peristiwa ini tidak terlalu terekspose di media. Malah lebih banyak curhatan mereka melalui media sosial. Itu pun karena memang sudah terlalu lama mereka menderita karena asap. Disini peran pemerintah patut dipertanyakan, baik itu peran pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Penanganan "bencana" ini cenderung sangat lamban bahkan terkesan disepelekan karena ada statement dari menteri yang seharusnya memiliki pengetahuan yang lebih dari seorang awam bahwa korban asap tidak perlu masker N95 tapi masker hijau biasa sudah cukup. Pernyataan tersebut sungguh sangat menyakiti hati para korban asap dimana mereka yang merasakan sulitnya bernafas karena udara yang sudah sangat tercemar. Bahkan tingkat pencemaran tersebut sudah 100% lebih di ambang batas normal. 

Setelah membahas mengenai kecemburuan antara korban asap dan siaga 1 piala presiden, mari kita cari tahu apakah itu siaga 1?

Pengamat militer Andi Widjajanto mengatakan siaga satu adalah istilah yang digunakan kepolisian dalam mengkondisikan pasukannya ketika harus mengamankan sesuatu. 



Menurutnya dalam kondisi apa pun polisi bisa saja menggunakan kondisi siaga satu. "Di sini berbeda dengan kondisi darurat sipil atau darurat militer," ujarnya. Andi mengatakan dalam operasi ketupat jaya atau kunjungan kepala negara pun istilah ini kerap digunakan.




Andi menjelaskan ketika polisi sudah menerapkan siaga satu artinya seluruh anggota korps tribrata tersebut harus bersiap di pos masing-masing. "Mereka yang cuti atau libur harus masuk untuk mengisi pos," ujarnya.




Keterlibatan militer di dalam penjagaan pun adalah hal wajar. "Mereka hanya ditugaskan untuk mengamankan objek vital," kata Andi. Kendali lapangan tetap di tangan polisi.




Dalam hal ini tentara tidak boleh melakukan apapun tanpa komando dari kepolisian. Bahkan ketika tentara harus turun langsung ke lapangan pun ada protab yang harus ditaati. "Mereka tidak boleh asal pukul atau tembak," ujarnya.




Protab yang harus ditaati oleh polisi dan militer adalah terkait sikap mereka dalam pengamanan. Pertama mereka hanya pasang badan lalu jika ada gesekan dengan masa mereka harus memasang perisai. "Barulah gas air mata atau water canon bisa digunakan ketika benar-benar sudah rusuh," ujarnya.




Penerapan siaga satu dalam pengamanan unjuk rasa, menurut Andi, sejalan dengan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 23 tahun 1959. "Jadi sudah diatur dalam konstitusi kita untuk mengantisipasi adanya konflik," ujarnya.

Dikutip dari nasional.tempo.co

Berdasarkan keterangan dari pengamat militer di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan siaga 1 adalah istilah yang digunakan kepolisian dalam mengkoordinasikan pasukannya ketika harus  mengamankan sesuatu dan berbeda dengan darurat sipil dan darurat militer.


Sementara itu, di Sumatera dan Kalimantan saudara-saudara kita sedang menderita akibat asap yang berasal dari hutan-hutan yang dibakar secara sengaja oleh oknum perusahaan yang mementingkan keuntungannya sendiri. 

Antara asap dan sepak bola (Piala Presiden) disini telah terjadi ketimpangan dalam penanganan dan pencegahan bencana ini. Mungkin yang menjadi masalah disini adalah mengapa penanganan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan begitu lambat, sedangkan untuk pencegahan keributan di Jakarta begitu sigap.




Mungkin hal tersebut diatas agar bisa dijadikan evaluasi bagi masyarakat luas dan juga tentunya pemerintah agar selalu tanggap dalam menangani suatu kasus, agar tidak ada korban berjatuhan dan tentunya kita semua harapkan agar tidak ada lagi bencana asap di waktu mendatang. 

No comments:

Post a Comment