MENGAPA KOPERASI BELUM BISA MENJADI SOKOGURU DI INDONESIA?
1.1 Pengertian
Koperasi
Istilah koperasi berasal dari bahasa asing
co-operation. (Co = bersama, operation = usaha), koperasi berarti usaha
bersama, misalnya Koperasi Unit Desa (KUD) artinya usaha bersama masyarakat di
satu wilayah desa, Koperasi Karyawan artinya usaha bersama para karyawan.
Menurut Undang-undang Nomor 12 tahun
1967 tentang pokok-pokok perkoperasian, ”Koperasi
Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat
berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang
merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan” (pasal 3 UU No.12/1967).
Koperasi merupakan kumpulan
orang dan bukan kumpulan modal. Koperasi harus betul-betul mengabdi kepada
kepentingan perikemanusiaan semata-mata dan bukan kepada kebendaan. Perbedaan antara koperasi dan badan usaha lain, dapat digolongkan
sebagai berikut :
a. Dilihat
dari segi organisasi
Koperasi adalah organisasi yang mempunyai kepentingan
yang sama bagi para anggotanya. Dalam melaksanakan usahanya, kekuatan tertinggi
pada koperasi terletak di tangan anggota, sedangkan dalam badan usaha bukan
koperasi, anggotanya terbatas kepada orang yang memiliki modal dan dalam
melaksanakan kegiatannya kekuasaan tertinggi berada pada pemilik
modal usaha.
b. Dilihat
dari segi tujuan usaha
Koperasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bagi para
anggotanya dengan melayani anggota seadil-adilnya, sedangkan badan usaha bukan
koperasi pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
c.
Dilihat dari segi sikap hubungan usaha
Koperasi senantiasa mengadakan koordinasi atau kerja
sama antara koperasi satu dan koperasi lainnya, sedangkan badan usaha bukan
koperasi sering bersaing satu dengan lainnya.
d.
Dilihat dari segi pengelolahan usaha
Pengelolahan usaha koperasi dilakukan secara terbuka,
sedangkan badan usaha bukan koperasi pengelolahan usahanya dilakukan secara
tertutup.
1.2 Ciri-ciri
Koperasi
Beberapa
ciri dari koperasi ialah :
- Sifat sukarela pada keanggotannya.
- Rapat anggota merupakan kekuasaan
tertinggi dalam koperasi.
- Koperasi bersifat nonkapitalis.
- Kegiatannya berdasarkan pada prinsip
swadaya (usaha sendiri), swakerta (buatan sendiri),
swasembada (kemampuan sendiri).
- Perkumpulan orang.
- Pembagian keuntungan menurut
perbandingan jasa. Jasa modal dibatasi.
- Tujuannya meringankan beban ekonomi
anggotanya, memperbaiki kesejahteraan anggotanya,
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
- Modal tidak tetap, berubah menurut banyaknya
simpanan anggota.
- Tidak mementingkan pemasukan
modal/pekerjaan usaha tetapi keanggotaan pribadi dengan prinsip
kebersamaan.
- Dalam rapat anggota tiap anggota
masing-masing satu suara tanpa memperhatikan jumlah modal
masing-masing.
- Setiap anggota bebas untuk
masuk/keluar (anggota berganti) sehingga dalam koperasi tidak terdapat
modal permanen.
- Seperti halnya perusahaan yang
terbentuk Perseroan Terbatas (PT) maka Koperasi mempunyai bentuk Badan
Hukum.
- Menjalankan suatu usaha.
- Penanggungjawab koperasi adalah
pengurus.
- Koperasi bukan kumpulan modal
beberapa orang yang bertujuan mencari laba sebesar-besarnya.
- Koperasi adalah usaha bersama
kekeluargaan dan kegotong-royongan. Setiap anggota berkewajiban bekerja
sama untuk mencapai tujuan yaitu kesejahteraan para anggota.
- Kerugian dipikul bersama antara
anggota. Jika koperasi menderita kerugian, maka para anggota memikul
bersama. Anggota yang tidak mampu dibebaskan atas beban/tanggungan
kerugian. Kerugian dipikul oleh anggota yang mampu.
Koperasi
di Indonesia pada dasarnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
·
Koperasi adalah kumpulan orang dan bukan kumpulan
modal. Artinya, koperasi mengabdi dan menyejahterakan anggotanya.
·
Semua kegiatan di dalam koperasi dilaksanakan dengan
bekerja sama dan bergotong royong berdasarkan persamaan derajat, hak, dan
kewajiban anggotanya yang berarti koperasi merupakan wadah ekonomi dan sosial.
·
Segala kegiatan di dalam koperasi didasarkan pada
kesadaran para anggota, bukan atas dasar ancaman, intimidasi, atau campur tangan
pihak-pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan koperasi.
·
Tujuan ideal koperasi adalah untuk kepentingan bersama
para anggotanya.
1.3 Sejarah
Koperasi
Salah satu gagasan ekonomi yang dalam beberapa waktu
belakangan ini cukup banyak mengundang perhatian adalah mengenai 'ekonomi
kerakyatan'. Di tengah-tengah himpitan
krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya perbincangan
mengenai globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana ekonomi-politik dunia,
kehadiran ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana ekonomi-politik Indonesia
memang terasa cukup menyegarkan. Akibatnya, walau pun penggunaan ungkapan itu
dalam kenyataan sehari-hari cenderung tumpang tindih dengan ungkapan ekonomi
rakyat, ekonomi kerakyatan cenderung dipandang seolah-olah merupakan gagasan baru
dalam pentas ekonomi-politik di Indonesia.
Kesimpulan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan.
Sebab bila ditelusuri ke belakang dengan mudah dapat diketahui bahwa
perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah berlangsung jauh
sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada mulanya adalah Bung
Hatta, di tengah-tengah dampak buruk depresi ekonomi dunia yang tengah melanda
Indonesia, yang menulis sebuah artikel dengan judul Ekonomi Rakyat di harian
Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember
1933 tersebut, Bung Hatta secara jelas mengungkapkan kegusarannya dalam
menyaksikan kemerosotan kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan
pemerintah Hindia Belanda.
Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bung Hatta
ketika itu tentu tidak lain dari ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk
asli Indonesia. Dibandingkan dengan ekonomi kaum penjajah yang berada di
lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang berada di lapisan tengah,
ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal. Sedemikian
mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaan rakyat pada masa itu,
maka tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengan nada serupa.
Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya
dengan mudah dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta
menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah
Hindia Belanda.
Tetapi sebagai seorang ekonom yang berada di luar
pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak bisa berbuat banyak untuk secara langsung
mengubah kebijakan ekonomi pemerintah. Untuk mengatasi kendala tersebut, tidak
ada pilihan lain bagi Bung Hatta kecuali terjun secara langsung ke gelanggang
politik. Dalam pandangan Bung Hatta, perbaikan kondisi ekonomi rakyat hanya
mungkin dilakukan bila kaum penjajah disingkirkan dari negeri ini. Artinya bagi
Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Walaupun demikian, sebagai seorang ekonom pejuang,
tidak berarti Bung Hatta serta merta meninggalkan upayanya untuk memperkuat
ekonomi rakyat melalui perjuangan ekonomi. Tindakan konkret yang dilakukan Bung
Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat ketika itu adalah dengan menggalang
kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi. Terinspirasi oleh
perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa, Bung Hatta berupaya sekuat tenaga
untuk mendorong pengembangan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.
Sebagaimana terbukti kemudian, kepedulian Bung Hatta
terhadap koperasi tersebut berlanjut jauh setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa
perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada
proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat
harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari sebuah
perekonomian yang berwatak kolonial menjadi sebuah perekonomian nasional.
Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan ekonomi nasional
adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat
banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air (lihat
Weinsten, 1976).
Kesadaran-kesadaran seperti itulah yang menjadi titik
tolak perumusan pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana
dikemukakan dalam penjelasan pasal tersebut, "Dalam pasal 33 tercantum
dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah koperasi."
Dalam kutipan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut,
ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak ditemukan secara eksplisit. Ungkapan
konsepsional yang ditemukan dalam penjelasan Pasal 33 itu adalah mengenai
'demokrasi ekonomi'. Walaupun demikian, mengacu pada definisi kata 'kerakyatan'
sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1932), serta penggunaan kata
kerakyatan pada sila keempat Pancasila, tidak terlalu sulit untuk disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak lain dari
demokrasi ekonomi sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945
itu. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah ungkapan lain dari demokrasi ekonomi
(Baswir, 1995). Ekonomi Kerakyatan dan Bung Hatta.
Perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi memang tidak dapat dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai Bapak
Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagai seorang ekonom pejuang, Bung Hatta tidak
hanya telah turut meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan sebuah negara merdeka
dan berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga memainkan peranan yang sangat
besar dalam meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan perekonomian nasional
berdasarkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak
Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yang secara konsisten dan terus menerus memperjuangkan
tegaknya kedaulatan ekonomi rakyat dalam penyelenggaraan perekonomian
Indonesia.
Ketika krisis
ekonomi pada masa orde baru yang sempat meluas menjadi kerusuhan sosial dan
politik itu, bermuara pada melambungnya harga berbagai kebutuhan pokok rakyat,
ditutupnya 16 bank atas perintah Dana Moneter Internasional (MF), bangkrutnya
sejumlah perusahaan, dan meluasnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara
nasional. Bahkan menyusul penerbitan obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 650
trilyun sebagaimana dikemukakan tadi, pemerintah Indonesia secara resmi
terpuruk ke dalam perangkap utang dalam dan luar negeri sebesar Rp l.300
trilyun. Di tengah-tengah situasi seperti itu, yaitu dengan berlangsungnya
proses sistematis sosialisasi beban ekonomi negara kepada rakyat banyak,
kondisi perekonomian rakyat dengan sendirinya terpuruk semakin dalam. Substansi
Ekonomi Kerakyatan.
Pertanyaannya,
urgensi apakah sesungguhnya yang mendorong mencuatnya kembali perbincangan
mengenai ekonomi kerakyatan dalam beberapa tahun belakangan ini? Adakah hal itu
merupakan pertanda bahwa gagasan ekonomi kerakyatan akan kembali menunjukkan
taringnya dalam pergulatan pemikiran ekonomi di Indonesia? Ataukah ia hanya
akan singgah sebentar untuk kemudian pergi kembali tanpa meninggalkan bekas
apa-apa? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya bila substansi ekonomi
kerakyatan dikemukakan secara singkat. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945.
Dalam pasal
33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua di bawali pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Berdasarkan
bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan bahwa
substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai
berikut.
Pertama,
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional.
Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini
menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal
itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya
nasional, tetapi juga sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh
anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional. Hal ini sejalan
dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."
Kedua, partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota
masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin
dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945
yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar di Indonesia.
Ketiga,
kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus
berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota
masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota
masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan
demikian, walaupun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh
para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap
berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat.
Unsur
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang ketiga tersebut kiranya perlu
digarisbawahi. Sebab unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari
perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau
faktor-faktor produksi nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal
dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material
capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan
modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari
unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus
menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal
tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan
modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakuidan melindungi hak
kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua
anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur
terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib
memelihara mereka.
Sehubungan
dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional
secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan
pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh
dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang
menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan
kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi
seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Sementara
itu, sehubungan dengan modal institusional, sepertinya tidak ada keraguan
sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota
masyarakat untuk. berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus
hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-undang.
Kemerdekaan
anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat
tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik,
tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun
alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk
serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan,
serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk
serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Bertolak dari uraian tersebut, dapat disaksikan bahwa
tujuan utama ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila
tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok
ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
- Tersedianya peluang kerja dan
penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
- Terselenggaranya sistem jaminan
sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan
anak-anak teriantar.
- Terdistribusikannya kepemilikan
modal materiaJ secata relatif meratadi antara anggota masyarakat.
- Terselenggaranya pendidikan
nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
- Terjaminnya kemerdekaan setiap
anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat
ekonomi.
Sejalan dengan itu, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal
33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peranan yang sangat penting dalam
sistem ekonomi kerakyatan. Peranan negara tidak hanya terbatas sebagai pengatur
jalannya roda perekonomian. Melalui pendirian Badan-badan Usaha Milik Negara
(BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat terlibat
secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan ekonomi tersebut.
Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih
diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, dan agar tampuk produksi tidak
jatuh ke tangan orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh
segelintir orang yang berkuasa.
Walau pun
demikian, sama sekali tidak benar jika dikatakan bahwa system ekonomi
kerakyatan cenderung mengabaikan efisiensi dan bersifat anti pasar. Efisiensi
dalam sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka
pendek dan berdimensi keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam
arti memperhatikan baik aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan,
maupun aspek kelestarian lingkungan. Politik ekonomi kerakyatan memang tidak
didasarkan atas pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas, melainkan atas
keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan.
Mekanisme
alokasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, kecuali untuk cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap di
dasarkan atas mekanisme pasar. Tetapi mekanisme pasar bukan satu-satunya.
Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong untuk diselenggarakan
melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar dan koperasi dapat
diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama dalam mekanisme
alokasi sistem ekonomi kerakyatan.
Dalam rangka
itu, sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan pasar
dan koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus
menerus melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan
penguasaan modal atau faktor-faktor produksi kepada segenap lapisan anggota masyarakat.
Proses sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan faktor-faktor produksi
atau peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat inilah yang menjadi substansi sistem
ekonomi kerakyatan (lihat Dahl, 1992).
Dilihat dari
sudut Pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota masyarakat dalam memiliki
faktor-faktor produksi itulah antara lain yang menyebabkan dinyatakannya
koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi
kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan
terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai
kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut
menjadi anggota koperasi (Hatta, 1954, hal. 218). Sehubungan dengan itu, Bapak
Koperasi Indonesia Bung Hatta, berulangkali menegaskan bahwa pada koperasi
memang terdapat perbedaan mendasar yang membedakannya secara diametral dari
bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di antaranya adalah pada dihilangkannya
pemilahan buruh-majikan, yaitu diikutsertakannya buruh sebagai pemilik
perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta,
"Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang
bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama" (Ibid, hal. 203}.
Penegasan
seperti itu diuraikan lebih lanjut oleh Bung Hatta dengan mengemukakan beberapa
contoh, "Misalnya koperasi menggaji bumh untuk menyapu ruangan bekerja,
supaya anggota-anggota yang bekerja jangan terganggu kesehatannya oleh debu.
Umpamanya pula koperasi menggaji instruktur untuk mengajar dan memberi petunjuk
tentang cara mengerjakan administrasi dan pembukuan kepada anggota yang
diserahi dengan pekerjaan itu. Sungguh pun demikian, juga terhadap mereka yang
memburuh itu, yang mengerjakan pekerjaan kecil-kecil, koperasi harus membuka
kesempatan untuk menjadi anggota. Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan yang
menjadi ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan
cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing" (Ibid.,
hal. 215).
Berdasarkan
ilustrasi Bung Hatta itu, kiranya jelas karakter utama ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi pada dasarnya terletak pada dihilangkannya watak
individualistis dan kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro
hal itu antara lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai
anggota koperasi atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu
berarti ditegakkannya kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya kemakmuran
masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.
Pendek kata, dengan diangkatnya ekonomi kerakyatan
sebagai prinsip penyelenggaraan ekonomi Indonesia, prinsip itu dengan
sendirinya tidak hanya memiliki kedudukan penting dalam menentukan corak sistem
perekonomian yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pada tingkat makro. la
juga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan corak perusahaan
yang sepatutya dikembangkan pada tingkat mikro. Penegakan kedaulatan ekonomi
rakyat dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang,
hanya dapat dilakukan dengan menerapkan dan mengamalkan prinsip tersebut.
2.1 Pembahasan
Koperasi
merupakan badan usaha bersama yang bertumpu pada prinsip ekonomi kerakyatan
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh
koperasi seperti efisiensi biaya serta dari peningkatan economies of scale
jelas menjadikan koperasi sebagai sebuah bentuk badan usaha yang sangat
prospektif di Indonesia. Namun, sebuah fenomena yang cukup dilematis ketika
ternyata koperasi dengan berbagai kelebihannya ternyata sangat sulit berkembang
di Indonesia. Koperasi bagaikan mati suri dalam 15 tahun terakhir. Koperasi
Indonesia yang berjalan di tempat atau justru malah mengalami kemunduran. Pasang-surut
Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Saat
ini pertanyaannya adalah “Mengapa Koperasi sulit berkembang?” Padahal, upaya
pemerintah untuk memberdayakan Koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bisa
dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari
pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan
saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program KUK dari
bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari
perbankan, Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan
gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus
yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM
(Pengusaha Kecil Menengah), yang sebagai memacu gerakan ini untuk terus maju.
Namun, kenyataannya, Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi
marjinal, pelaku bisnis yang perlu “dikasihani”.
Berikut merupakan beberapa jawaban dari pertanyaan
“Mengapa Koperasi sulit berkembang?” :
1.
Kurangnya Partisipasi Anggota
Bagaimana mereka bisa berpartisipasi
lebih kalau mengerti saja tidak mengenai apa itu koperasi. Hasilnya anggota
koperasi tidak menunjukkan partisipasinya baik itu kontributif maupun insentif
terhadap kegiatan koperasi sendiri. Kurangnya pendidikan serta pelatihan yang
diberikan oleh pengurus kepada para anggota koperasi ditengarai menjadi faktor
utamanya, karena para pengurus beranggapan hal tersebut tidak akan menghasilkan
manfaat bagi diri mereka pribadi. Kegiatan koperasi yang tidak berkembang
membuat sumber modal menjadi terbatas. Terbatasnya usaha ini akibat kurangnya
dukungan serta kontribusi dari para anggotanya untuk berpartisipasi membuat
koperasi seperti stagnan. Oleh karena itu, semua masalah berpangkal pada
partisipasi anggota dalam mendukung terbentuknya koperasi yang tangguh, dan
memberikan manfaat bagi seluruh anggotanya, serta masyarakat sekitar.
2.
Sosialisasi Koperasi
Tingkat partisipasi anggota koperasi
masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang
menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi itu hanya untuk melayani konsumen
seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Artinya masyarakat
belum tahu esensi dari koperasi itu sendiri, baik dari sistem permodalan maupun
sistem kepemilikannya. Mereka belum tahu betul bahwa dalam koperasi konsumen
juga berarti pemilik, dan mereka berhak berpartisipasi menyumbang saran demi
kemajuan koperasi miliknya serta berhak mengawasi kinerja pengurus. Keadaan
seperti ini tentu sangat rentan terhadap penyelewengan dana oleh pengurus,
karena tanpa partisipasi anggota tidak ada kontrol dari anggotanya sendiri
terhadap pengurus.
3.
Manajemen
Manajemen koperasi harus diarahkan
pada orientasi strategik dan gerakan koperasi harus memiliki manusia-manusia
yang mampu menghimpun dan memobilisasikan berbagai sumber daya yang diperlukan
untuk memanfaatkan peluang usaha. Oleh karena itu koperasi harus teliti dalam
memilih pengurus maupun pengelola agar badan usaha yang didirikan akan
berkembang dengan baik. Ketidak profesionalan manajemen koperasi banyak terjadi
di koperasi koperasi yang anggota dan pengurusnya memiliki tingkat pendidikan
yang rendah. Contohnya banyak terjadi pada KUD yang nota bene di daerah
terpencil. Banyak sekali KUD yang bangkrut karena manajemenya kurang profesional
baik itu dalam sistem kelola usahanya, dari segi sumberdaya manusianya maupun
finansialnya. Banyak terjadi KUD yang hanya menjadi tempat bagi pengurusnya
yang korupsi akan dana bantuan dari pemerintah yang banyak mengucur.
4.
Permodalan
Kurang berkembangnya koperasi juga
berkaitan sekali dengan kondisi modal keuangan badan usaha tersebut. Kendala
modal itu bisa jadi karena kurang adanya dukungan modal yang kuat dan dalam
atau bahkan sebaliknya terlalu tergantungnya modal dan sumber koperasi itu
sendiri. Jadi untuk keluar dari masalah tersebut harus dilakukan melalui
terobosan structural, maksudnya dilakukannya restrukturasi dalam penguasaan faktor
produksi, khususnya permodalan. Kepala Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan
Perdagangan Sulawesi Tengah Muhammad Hajir Hadde, SE. MM menyebutkan salah satu
hambatan yang dihadapi selama ini diantaranya manajemen dan modal usaha. Hal
itu dikatakannya dihadapan peserta Diklat Koperasi Simpan Pinjam KSP dan Unit
Simpan Pinjam USP yang saat ini sedang berlangsung di Palu. Untuk
mengantisipasi berbagai hambatan dimaksud khususnya manajemen Dinas Kumperindag
selaku leading sektor terus berupaya mengatasinya melalui pendidikan dan
pelatihan serta pemberian modal usaha.
5.
Sumber Daya Manusia
Banyak anggota, pengurus maupun
pengelola koperasi kurang bisa mendukung jalannya koperasi. Dengan kondisi
seperti ini maka koperasi berjalan dengan tidak profesional dalam artian tidak
dijalankan sesuai dengan kaidah sebagimana usaha lainnya. Dari sisi
keanggotaan, sering kali pendirian koperasi itu didasarkan pada dorongan yang
dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya pendirian koperasi didasarkan bukan dari
bawah melainkan dari atas. Pengurus yang dipilih dalam rapat anggota seringkali
dipilih berdasarkan status sosial dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian
pengelolaan koperasi dijalankan dengan kurang adanya kontrol yang ketat dari
para anggotanya. Pengelola ynag ditunjuk oleh pengurus seringkali diambil dari
kalangan yang kurang profesional. Sering kali pengelola yang diambil bukan dari
yang berpengalaman baik dari sisi akademis maupun penerapan dalam wirausaha.
6.
Kurangnya Kesadaran Masyarakat
Perkembangan koperasi di Indonesia
yang dimulai dari atas (bottom up) tetapi dari atas (top down), artinya
koperasi berkembang di Indonesia bukan dari kesadaran masyarakat, tetapi muncul
dari dukungan pemerintah yang disosialisasikan ke bawah. Berbeda dengan yang di
luar negeri, koperasi terbentuk karena adanya kesadaran masyarakat untuk saling
membantu memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan yang merupakan tujuan koperasi
itu sendiri, sehingga pemerintah tinggal menjadi pendukung dan pelindung saja.
Di Indonesia, pemerintah bekerja double selain mendukung juga harus
mensosialisasikanya dulu ke bawah sehingga rakyat menjadi mengerti akan manfaat
dan tujuan dari koperasi.
7. “Pemanjaan Koperasi”
Pemerintah terlalu memanjakan
koperasi, ini juga menjadi alasan kuat mengapa koperasi Indonesia tidak bisa maju.
Koperasi banyak dibantu pemerintah lewat dana-dana segar tanpa ada pengawasan
terhadap bantuan tersebut. Sifat bantuanya pun tidak wajib dikembalikan. Tentu
saja ini menjadi bantuan yang tidak mendidik, koperasi menjadi ”manja” dan
tidak mandiri hanya menunggu bantuan selanjutnya dari pemerintah. Selain
merugikan pemerintah bantuan seperti ini pula akan menjadikan koperasi tidak
bisa bersaing karena terus menerus menjadi benalu negara. Seharusnya pemerintah
mengucurkan bantuan dengan sistem pengawasannya yang baik, walaupun dananya
bentuknya hibah yang tidak perlu dikembalikan. Dengan demikian akan membantu
koperasi menjadi lebih profesional, mandiri dan mampu bersaing.
8. Demokrasi ekonomi yang kurang
Dalam arti
kata demokrasi ekonomi yang kurang ini dapat diartikan bahwa masih ada banyak
koperasi yang tidak diberikan keleluasaan dalam menjalankan setiap tindakannya.
Setiap koperasi seharusnya dapat secara leluasa memberikan pelayanan terhadap
masyarakat, karena koperasi sangat membantu meningkatkan tingkat kesejahteraan
rakyat oleh segala jasa-jasa yang diberikan tetapi hal tersebut sangat jauh
dari apa yang kita pikirkan. Keleluasaan yang dilakukan oleh badan koperasi
masih sangat minim, dapat dicontohkan bahwa KUD tidak dapat memberikan pinjaman
terhadap masyarakat dalam memberikan pinjaman untuk usaha masyarakat itu
sendiri tanpa melalui persetujuan oleh tingkat kecamatan dll. Oleh karena itu
seharusnya koperasi diberikan sedikit keleluasaan untuk memberikan pelayanan
terhadap anggotanya secara lebih mudah tanpa syarat yang sangat sulit.
Sebenarnya secara umum permasalahan yang dihadapi koperasi dapat di kelompokan
terhadap 2 masalah, yaitu :
A. Permasalahan
Internal
- Kebanyakan pengurus koperasi telah lanjut usia
sehingga kapasitasnya terbatas;
- Pengurus koperasi juga tokoh dalam masyarakat,
sehingga “rangkap jabatan” ini menimbulkan akibat bahwa fokus perhatiannya
terhadap pengelolaan koperasi berkurang sehingga kurang menyadari adanya
perubahan-perubahan lingkungan;
- Bahwa ketidakpercayaan anggota koperasi
menimbulkan kesulitan dalam memulihkannya;
- Oleh karena terbatasnya dana maka tidak dilakukan
usaha pemeliharaan fasilitas (mesin-mesin), padahal teknologi berkembang
pesat; hal ini mengakibatkan harga pokok yang relatif tinggi sehingga
mengurangi kekuatan bersaing koperasi;
- Administrasi kegiatan-kegiatan belum memenuhi
standar tertentu sehingga menyediakan data untuk pengambilan keputusan
tidak lengkap; demikian pula data statistis kebanyakan kurang memenuhi
kebutuhan;
- Kebanyakan anggota kurang solidaritas untuk
berkoperasi di lain pihak anggota banyak berhutang kepada koperasi;
- Dengan modal usaha yang relatif kecil maka volume
usaha terbatas; akan tetapi bila ingin memperbesar volume kegiatan,
keterampilan yang dimiliki tidak mampu menanggulangi usaha besar-besaran;
juga karena insentif rendah sehingga orang tidak tergerak hatinya
menjalankan usaha besar yang kompleks.
B. Permasalahan eksternal
- Bertambahnya persaingan dari badan usaha yang
lain yang secara bebas memasuki bidang usaha yang sedang ditangani oleh
koperasi;
- Karena dicabutnya fasilitas-fasilitas tertentu
koperasi tidak dapat lagi menjalankan usahanya dengan baik, misalnya usaha
penyaluran pupuk yang pada waktu lalu disalurkan oleh koperasi melalui
koperta sekarang tidak lagi sehingga terpaksa mencari sendiri.
- Tanggapan masyarakat sendiri terhadap koperasi;
karena kegagalan koperasi pada waktu yang lalu tanpa adanya
pertanggungjawaban kepada masyarakat yang menimbulkan ketidakpercayaan
pada masyarakat tentang pengelolaan koperasi;
- Tingkat harga yang selalu berubah (naik) sehingga
pendapatan penjualan sekarang tidak dapat dimanfaatkan untuk meneruskan
usaha, justru menciutkan usaha.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi koperasi kiranya menjadi relatif lebih akut, kronis, lebih berat
oleh karena beberapa sebab :
- Kenyataan bahwa pengurus atau anggota koperasi
sudah terbiasa dengan sistem penjatahan sehingga mereka dahulu hanya
tinggal berproduksi, bahan mentah tersedia, pemasaran sudah ada
salurannya, juga karena sifat pasar “sellers market” berhubungan dengan
pemerintah dalam melaksanakan politik. Sekarang sistem ekonomi terbuka
dengan ciri khas : “persaingan”. Kiranya diperlukan penyesuaian diri dan
ini memakan waktu cukup lama.
- Para anggota dan pengurus mungkin kurang
pengetahuan/skills dalam manajemen. Harus ada minat untuk memperkembangkan
diri menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi.
- Oleh karena pemikiran yang sempit timbul usaha
“manipulasi” tertentu, misalnya dalam hal alokasi order/tugas-tugas karena
kecilnya “kesempatan yang ada” maka orang cenderung untuk memanfaatkan
sesuatu untuk dirinya terlebih dahulu.
- Pentingnya rasa kesetiaan (loyalitas) anggota;
tetapi karena anggota berusaha secara individual (tak percaya lagi kepada
koperasi) tidak ada waktu untuk berkomunikasi, tidak ada pemberian dan
penerimaan informasi, tidak ada tujuan yang harmonis antara anggota dan
koperasi dan seterusnya, sehingga persoalan yang dihadapi koperasi dapat
menghambat perkembangan koperasi.
Pendapat dari beberapa orang tentang “Mengapa Koperasi
belum mendominasi perkekonomian di Indonesia “.
Narasumber 1.
Nama :
Wellen
Pekerjaan :
Karyawan Swasta
Pendapat :
Menurut saya mengapa Koperasi belum mendominasi perkekonomian di Indonesia
dapat dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya adalah dikarenakan
organisasinya yang masih kurang baik (Sistem). Terkait dengan pengurusnya yang
masih belum menjalankan visi dan misi yang seusai dengan koperasi tersebut
(Sumber Daya Manusia). Akan tetapi bisa saja dikarenakan modal yang kurang
memadai sehingga koperasi tidak dapat berjalan sebagaimana semestinya. Selanjutnya
adalah masih kurangnya kesadaran dari anggota koperasi itu sendiri untuk
memajukan koperasi tersebut ( Motivasi, Keinginan dan Kesadaran). Permasalahan
lai adalah satu kondisi dimana pesaing koperasi itu banyak, seperti pedagang
lain atau usaha – usaha lain. Sehingga sering terjadi konflik interest, dimana
usaha – usaha tersebut dijadikan media untuk kepentingan lain yang menyimpang.
Seperti ada supplier yang melakukan transaksi perdagangan dengan harga yang
jauh lebih murah dari koperasi yang ada dengan tujuan politik agar masyarakat
memilihnya (orang yang mengadakan pasar murah tersebut).
Narasumber 2
Nama :
Wendhy Marius Kahar
Pekerjaan :
Karyawan Swasta
Pendapat :Dilihat
dari kebanyakan masyarakat Indonesia yang selalu menginginkan segala sesuatunya
secara praktis (instan) maka koperasi tidak dapat menjadi salah satu bagian
dari kegiatan ekonominya. Dilihat dari sistem kebanyakan koperasi (simpan
pinjam) memberikan persyaratan-persyaratan yang tidak praktis dilakukan untuk
melakukan peminjaman uang. Seperti harus memberikan berbagai macam surat-surat
untuk menunjang peminjaman tersebut. Sedangkan di perusahaan lain seperti
pegadaian atau leasing hanya memberikan persyaratan yang begitu mudah tanpa
harus lama-lama menunggu. Faktor lain adalah dimana letak koperasi (penjualan
Barnga) yang tidak ada disetiap tempat sehingga masyarakat lebih tertarik
belanja di tempat-tempat yang mudah dijangkau. Seperti mini market mitra usaha
atau supermarket besar yang notabene tempatnya pun lebih nyaman untuk melakukan
transaksinya. Dengan berbagai macam penawaran yang menggiurkan dan potongan
harga yang menarik pembeli.
3.1 Kesimpulan
Koperasi
Sebagai Sokoguru Perekonomian Indonesia berarti bahwa koperasi sebagai pilar
utama dalam sistem perekonomian nasional. Dengan tujuan utama koperasi yaitu
meningkatkan kesejahteraan anggotanya koperasi dapat menjadi penyangga dalam
perekonomian anggotanya. Walaupun di samping itu banyak yang menganggap bahwa
keberadaan koperasi terlihat samar dikarenakan apakah badan koperasi ini masih
dimiliki oleh perorangan ataupun unit usaha yang dalam pelaksaannya banyak
terjadi keganjilan. Tetapi kenyataannya koperasi dapat memberikan manfaat-manfaat
yang luar biasa demi meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan
jalannya roda perekonomian, dalam garis besarnya meliputi sebagai berikut:
a. Tersedianya
peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
b. Terselenggaranya
sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir
miskin dan anak-anak terlantar.
c. Terdistribusikannya
kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat.
d. Terselenggaranya
pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
e. Terjaminnya
kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota
serikat-serikat ekonomi.
Jadi
kalau Koperasi dapat dikelola dengan baik, jelas, terbuka, dan sukarela atas
asas kekeluargaan maka koperasi yang berjalan akan dapat memenuhi tujuan
utamanya. Peran pemerintah dalam mengembangkan koperasi ini juga tidak kalah
penting. Mulai dari pemerintah yang dapat mendukung perannya dalam koperasi ini
masuk ke berbagai kota-kota besar maupun daerah terpencil pun dengan pembinaan
yang baik, dan jelas serta dapat dikelola dengan sangat baik niscaya Koperasi
Sebagai Sokoguru Perekonomian Indonesia tidak hanya sekedar pernyataan
manis saja tapi itu benar-benar bisa dibuktikan.
3.2 Saran
Dari
penjelasan diatas, dapat
dilihat bahwa peran pemerintah sangat penting dalam mengembangkan serta
meningkatkan kinerja koperasi di era globalisasi ini. Dengan anggapan bahwa
koperasi ini mempunyai peran yang sangat penting di era globalisasi tentu saja
koperasi itu sendiri harus mempunyai kemampuan atau harus memenuhi anggapan
tersebut. Peran pemerintah di dalam mengembangkan serta memajukan koperasi agar
dapat bersaing dengan kompetitor lainnya di era globalisasi ini adalah sebagai
berikut :
1. Adanya partisipasi baik untuk
kontributif maupun insentif terhadap kegiatan koperasi itu sendiri, serta
pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pengurus kepada para anggota
koperasi.
2. Diadakannya sosialisasi yang optimal
kepada masyarakat akan esensi dari koperasi itu sendiri, baik dari sistem
permodalan maupun sistem kepemilikannya.
3. Manajemen koperasi yang harus
berorientasi strategik, serta teliti dalam pemilihan pengurus maupun pengelola
agar badan usaha yang didirikan berkembang dengan baik. Juga profesional dalam
sistem tata kelola usaha, sumber daya manusia maupun finansialnya.
4. Adanya dukungan modal yang kuat dan
dalam atau bahkan sebaliknya dan restrukturisasi dalam penguasaan faktor
produksi, khususnya permodalan.
5. Pengelolaan koperasi dijalankan
dengan adanya kontrol yang ketat dari para anggotanya. Untuk pengelola yang
ditunjuk oleh pengurus diambil dari kalangan yang profesional, yang
berpengalaman baik dari sisi akademis maupun penerapan dalam wirausaha.
6. Adanya dukungan dan perlindungan
dari pemerintah yang disosialisasikan ke bawah, yakni dengan membentuk
kesadaran masyarakat untuk saling membantu untuk memenuhi kebutuhan dan
mensejahterakan yang merupakan tujuan dari koperasi itu sendiri.
7. Pemerintah tidak lagi “memanjakan”
koperasi lewat dana-dana segar, melainkan diharuskan adanya pengawasan terhadap
bantuan tersebut. Merubah sifat bantuan menjadi wajib dikembalikan agar tidak
melulu merugikan pemerintah dan menjadikan koperasi tersebut juga mandiri,
lebih profesional dan mampu bersaing.
8. Koperasi diberikan keleluasaan untuk
menjalankan setiap tindakannya dalam rangka peningkatan pelayanan terhadap
masyarakat melalui segala jasa-jasa yang diberikan secara lebih mudah tanpa
syarat yang sulit. Serta dapat meminimalisasi permasalahan-permasalan yang ada,
baik itu permasalahan internal maupun eksternal.
Beberapa hal tersebut
yang mungkin dapat
dilakukan dalam rangka pengembangan kepada koperasi yang setidaknya dapat
membuat koperasi bertahan di era globalisasi ini. Selain hal tersebut,
pemerintah juga sebaiknya lebih mempromosikan kepada masyarakat apa itu
koperasi serta menciptakan kepercayaan masyarakat kepada koperasi agar koperasi
mendapat dukungan lebih dalam usahanya. Serta dari dalam koperasi itu sendiri
sebaiknya di dalam gerakannya atau usahanya harus disertai dengan inovasi serta
kreatifitas agar dapat berkembang.