BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Negara
Indonesia dalah negara hukum . Bukan negara kekuasaan. Otoritas bukanlah
identitas Negara Indonesia . Negara hukum dan Rule of law pada hakikatnya sulit
dipisahkan, bahkan hampir dapat
dikatakan sama .
Sementara
itu Rule of Law sendiri mengandung makna
hukum sebagai aturan atau acuan.
Keterkaitan antara negara hukum dan Rule of Law itu sendiri adalah
persamaan yang terlihat dari maknanya,yaitu aturan . Aturan yang dibuat oleh
suatu Negara merupakan upaya untuk memberikan pelayan bagi seluruh komponen
uang ada agar tidak tercerai-berai atau memberikan batasan bagi setiap komponen
tersebut untuk tidak menyalahi aturan yang telah dibuat agar terciptanya
keseimbangan antar komponen itu sendiri .
Selain
aturan-aturan tersebut setiap warga Negara memiliki hak yang dimiliki oleh
seluruh warga dunia, Hak Asasi Manusia . HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak
yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik
kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan
status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
B.
MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun
tujuan penulis adalah untuk memenuhi sebagian syarat dalam mata kuliah Kewarganegaraan,
selain itu juga ada beberapa tujuan diantaranya:
a. Mengetahui lebih jauh mengenai Rule of
Law dan Hak Asasi Manusia.
b. Untuk menambah wawasan dan pengalaman
pemakalah sebagai mahasiswi.
C.
METODE PENULISAN
Metode
penulisan dalam makalah yang pemakalah buat ini adalah Objektif Praktis yaitu
seluruh materi ini yang ditulis dalam makalah ini bersumber pada buku
Prof.DR.Kaelan, M.S, H.Achmad Zubaidi,MSi.
D.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika
penulisan yang pemakalah lakukan terdiri dari :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Maksud dan Tujuan
C. Metode Penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB II
PERMASALAHAN
BAB III
PEMBAHASAN
I. Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum
II. Hak Asasi Manusia
III. Penjabaran Hak-Hak Asasi Manusia dalam UUD
1945
IV. Hak dan Kewajiban Warga Negara
BAB IV
KESIMPULAN
BAB V
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
II
PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang terdapat dalam
makalah ini adalah :
a. Apa pengertian dari Rule of Law dan
Negara Hukum?
b. Bagaimana ciri-ciri Rule of Law dan
Negara Hukum?
c. Apa
pengertian dari HAM dan macam-macamnya?
d. Bagaimana penegakkan HAM di Indonesia?
BAB
III
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum
Pengertian
Rule of Law dan negara hukum pada hakikatnya sulit dipisahkan. Ada pakar
mendeskripsikan bahwa pengertian negara hukum dan Rule of Law itu hampir dapat
dikatakan sama, namun terdapat pula ada yang menjelaskan bahwa memiliki
penekanan masing-masing. Menurut Philipus M. Hadjon misalnya bahwa negara hukum
yang menurut istilah bahasa Belanda rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme, yaitu dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang untuk
mewujudkan negara yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu dalam proses perkembangannya rechtsstaat itu lebih memiliki ciri
yang revolusioner. Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja
maupun penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan
perundang-undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan
perundang-undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Misalnya
gerakan revolusi Perancis serta gerakan melawan absolutisme di Eropa lainnya,
baik dalam melawan kekuasaan raja, bangsawan maupun golongan teologis.
Oleh
karena itu menurut Friedman, antara pengertian negara hukum atau rechtsstaat
dan Rule of Law sebenarnya saling mengisi (Friedman, 1960: 546). Berdasarkan
bentuknya sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara
legal. Setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk
negara mendasarkan pada Rule of Law.
Dalam
hubungan ini Pengertian Rule of Law berdasarkan substansi atau isinya sangat
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.
Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of Law dalam
kehidupan kenegaraannya, meskipun negara tersebut adalah negara otoriter. Atas
dasar alasan ini maka diakui bahwa sulit menentukan pengertian Rule of Law
secara universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian itupun secara
berbeda pula (lihat Soegito, 2006: 4), dalam hubungan inilah maka Rule of Law
dalam hal munculnya bersifat endogen, artinya muncul dan berkembang dan suatu
masyarakat tertentu.
Munculnya keinginan untuk melakukan
pembatasan yuridis tenhadap kekuasaan, pada dasarnya disebabkan potitik kekuasaan
cenderung korup. Hal ini dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peran negara
bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar pengertian tersebut maka
terdapat keinginan yang sangat besar untuk melakukan pembatasan terhadap
kekuasaan secara normatif yuridis untuk menghindari kekuasaan yang dispotik
(Hitchner, 1981: 69). Dalam hubungan inilah maka kedudukan konstitusi menjadi
sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dalam hubungan ini
dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan
pejabat-pejabat pemerintah sekalipun sesuai dengan prinsip government by law,
not by man (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan manusia atau
penguasa).
Carl
J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Government and Democracy: Theory and
Practice in Europe and America, memperkenalkan istilah negara hukum dengan
istilah rehtsstaat atau constitutional state. Demikian juga tokoh lain yang
membahas rechtsstaat adalah Friederich J. Stahl, yang menurutnya terdapat empat
unsur pokok untuk berdirinya satu rechsstaat, yaitu:
1)
hak-hak manusia;
2)
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak itu;
3)
pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan;
dan
4)
peradilan administrasi datam perselisihan
(Muhtaj, 2005: 23).
Bagi
negara Indonesia ditentukan secara yuridis formal bahwa negara Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum. Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
alinea IV, yang secara eksplisit dijelaskan bahwa “....maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia....”. Hal ini mengandung arti bahwa suatu keharusan Negara Indonesia
yang didirikan itu berdasarkan atas Undang-Undang Dasar Negara.
Dengan
pengertian lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum atau rechtstaat dan bukan negara kekuasaan atau
machtsstaat. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap
prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan
pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak,
yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum. serta menjamin
keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak
penguasa. Dalam paham negara hukum itu, hukumlah yang menjadi komando tertingi
dalam penyelenggaraan negara. Dalam penyelenggaraan negara yang sesungguhnya
memimpin adalah hukum itu sendiri. Oleh karena itu berdasarkan pengertian ini
Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of
Man”, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang
dijalankan oleh hukum atau nomos.
Dalam
negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri
dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip
supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakikatnya berasal dari
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan
dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat atau
democratische rechstssaat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan ditafsirkan dan
ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat.
Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang
dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau constitutional democracy yang
diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang
berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat) Asshid diqie,
2005: 69-70).
A.
Prinsip-prinsip Rule of Law
Sebagaimana
dijelaskan di depan bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan dengan
pengertian negara hukum atau rechtsstaat. Meskipun demikian dalam negara yang
menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinip-prinsip yang jelas, terutama
dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu sendiri. Menurut Albert Venn
Dicey dalam ‘Introduction to the Law of The Constitution, memperkenalkan
istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu
keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam
Rule of Law, yaitu: (I) supremasi aturan-aturan hukum. tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang
melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama di muka hukum. Hal ini berlaku baik
bagi masyarakat biasa maupun pejabat negara; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi
manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Suatu
hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan dengan negara hanya
berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara
hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap
negara yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa
yang termasuk dalam konstitusi semata. Dengan perkataan lain negara tidak hanya
sebagai ‘penjaga malam’ (nachtwachterstaat), Dalam pengertian seperti ini
seakan-akan negara tidak berurusan dengan kesejahteraan rakyat. Setelah
pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahwa negara harus bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu negara tidak hanya sebagai ‘penjaga
malam’ saja, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan sosial-ekonomi.
Gagasan
baru inilah yang kemudian dikenal dengan welvaartstaat, verzorgingss:aat,
welfare state, social service state, atau ‘negara hukum materal. Perkembangan
baru inilah yang kemudian menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atau
bahkan melengkapi pemikiran Dicey tentang negara hukum formal.
Dalam
hubungan negara hukum ini organisasi pakar hukum internasional, International
Comission of Jurists (ICJ), secara internasional melakukan kajian terhadap
konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam
beberapa kali pertemuan ICJ di berbagai Negara seperti di Athena (1955), di New
Delhi (1956), di Amerika S (1957), di Rio de Janeiro (1962), dan Bangkok
(1965), dihasilkan paradigma baru tentang negara hukum. Dalam hubungan ini
kelihatan ada semangat bersama bahwa konsep negara hukum adalah sangat penting,
yang menurut Wade disebut sebagai the rule of law is a phenomenon of a free
society and the mark of it. ICJ dalam kapasitasnya sebagai forum intelektual,
juga menyadari bahwa yang terlebih penting lagi adalah bagaimana konsep ride of
law dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan kehidupan dalam
masyarakat.
Secara
praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of
law dalam kehidupan bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah
digariskan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula
adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar
sosial-ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis
di bawah rule of law yang dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional,
artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan
teknis-prosedural untuk meperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2)
lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; (3) pemilihan umurn yang bebas;
(4) kebebasan menyatakan pendapat; ( kebebasan berserikat/berorganisasi dan
beroposisi; dan (6) pedidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995: 59).
Gambaran
ini mengukuhkan negara hukum sebagai welfare state, karena sebenarnya mustahil
mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran negara sangat
minimal dan lemah. Atas dasar inilah kemudian negara diberikan keluasan dan
kemerdekaan bertindak atas dasar inisiatif parlemen. Negara dalam hal ini
pemerintah memiliki freiesermessen atau pouvoir discretionnare, yaitu
kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan
sosial-ekonomi dan keleluasaan untuk tidak terlalu terikat pada produk
legislasi parlemen. Dalam gagasan welfare state ternyata negara memiliki
kewenangan yang relatif lebih besar, ketimbang format negara yang hanya
bersifat negara hukum formal saja. Selain itu dalam welfare state yang
terpenting adalah negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan
peran negara bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Sejalan dengan kemunculan ide
demokrasi konstitusional yang tak terpisahkan dengan konsep negara hukum, baik
rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan yang
fundamental serta saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting
pengakuan adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional.
Oleh karena itu, terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara hukum
yang berbeda., konsep negara hukum dan rule of law adalah suatu relitas dan
cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara Indonesia.
II.
Hak Asasi Manusia
Hak
asasi manusia sebagai gagasan, paradigma serta kerangka konseptual tidak lahir
secara tiba-tiba sebagaimana kita lihat dalam ‘Universal Declaration of Human
Right’ 10 Desember 1948, namun melalui suatu proses yang cukup panjang dalam
sejarah peradaban manusia. Dan perspektif sejarah deklarasi yang ditandatangani
oleh Majelis Umum PBB dihayati sebagai suatu pengakuan yuridis formal dan
merupakan titik kulminasi perjuangan sebagian besar umat manusia di belahan
dunia khususnya yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Upaya
konseptualisasi hak-hak asasi manusia, baik di Barat maupun di Timur meskipun
upaya tersebut masih bersifat lokal, parsial dan sporadikal.
Pada
zaman Yunani Kuno Plato telah memaklumkan kepada warga polisnya, bahwa
kesejahteraan bersama akan tercapai manakala setiap warganya melaksanakan hak
dan kewajibannya masing-masing. Dalam akar kebudayaan Indonesiapun pengakuan
serta penghormatan tentang hak asasi manusia telah mulai berkembang, misalnya
dalam masyarakat Jawa telah dikenal tradisi ‘Hak Pepe’, yaitu hak warga desa
yang diakui dan dihormati oleh penguasa, seperti mengemukakan pendapat,
walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa (Baut & Beny,
1988: 3).
Awal
perkembangan hak asasi manusia dimulai tatkala ditanda tangani Magna Charta
(1215), oleh Raja John Lackland. Kemudian juga penandatanganan Petition of
Right pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Dalam hubungan ini Raja berhadapan
dengan Utusan rakyat (House of Commons). Dalam hubungan inilah maka
perkembangan hak asasi manusia itu saagat erat hubungannya dengan perkembangan
demokrasi. Setelah itu perjuangan yang Iebih nyata pada penandatanganan Bill of
Right, oeh Raja Willem 111 pada tahun 1689, sebagai hasil dan pergolakan
politik yang dahsyat yang disebut sebagai the Glorious Revolution. Peristiwa
ini tidak saja sebagai suatu kemenangan parlemen atas raja, melainkan juga
merupakan kemenangan rakyat dalam pergolakan yang menyertai pergolakan Bill of
Rights yang berlangsung selama 60 tahun (Asshiddiqie, 2006: 86). Perkembangan
selanjutnya perjuangan hak asasi manusia dipengaruhi oleh pemikiran filsuf
Inggris John Locke yang berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut
menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang di serahkan
kepada penguasa adalah hak yang berkaitan dengan perjanjian tentang negara,
adapun hak-hak lainnya tetap berada pada masing individu.
Puncak
perkembangan perjuangan hak-hak asasi manusia tersebut yaitu ketika ‘Human
Right itu untuk pertama kalinya dirumuskan secara resmi dalam ‘Declaration of
Independence’ Amerika Serikat pada tahun 1776. Dalam dek1arasi Amerika Serikat
tanggal 4 Juli 1776 tersebut dinyatakan bahwa seluruh umat manusia dikaruniai
oleh Tuhan Yang Maha Esa beberapa hak yang tetap dan melekat padanya. Perumusan
hak-hak asasi manusia secara resmi kemudian menjadi dasar pokok konstitusi
Negara Amerika Serikat tahun 1787, yang mulai berlaku 4 Maret I789.(Hardjowirogo,
1977: 43).
Perjuangan
hak asasi manusia tersebut sebenarnya telah diawali di Perancis sejak Rousseau,
dan perjuangan itu memuncak dalam revolusi Perancis, yang berhasil menetapkan
hak-hak asasi manusia dalam ‘Declaration des Droizs L ‘Homme et du Citoyen’
yang ditetap kan oleh Assemblee Nationale pada 26 Agustus 1789 (Asshiddiqie
2006: 90). Semboyan revolusi Perancis yang terkenal yaitu (1) Liberte
(kemerdekaan), (2) egalite (Kesamarataan) (3) fraternite (kerukunan atau
persaudaraan). Maka rnenurut konstitusi Perancis yang di maksud dengan hak-hak
asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang
tidak dapat di pisahkan dengan hakikatnya.
Dalam
rangka konseptualisasi dan reinterpretasi terhadap hak-hak asasi yang mencakup
bidang-bidang yang lebih luas itu, Franklin D. Rooseveft, Presiden Amerika pada
permulaan.abad ke-20 memformulasikan empat macam hak-hak asasi yang kemudian
dikenal dengan “The Four Freedom” itu adalah: (1) Freedom of speech. yaitu
kebebasan untuk berbicara dan mengemukakari pendapat. (2) Freedom of Religion.
yaitu kebebasan beragama. (3) Freedom from Fear. yaitu kebebasan dan rasa
ketakutan. dan (4) Freedom from Want, yaitu ke bebasan dan kemelaratan
(Budiardjo. 1981: 121). Hal inilah yang ke mudian menjadi inspirasi dan
Declaration of Human Right 1948 Perserikatan Bangsa-bangsa.
Doktrin
tentang hak-hak asasi manusia sekarang ini sudah diterima secara universal
sebagai moral, political, legal framework and as a guideline ‘ dalam membangun
dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan senta perlakukan
yang tidak adil. Terhadap deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia PBB
tersebut. bangsa-bangsa sedunia melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan
perlindungan secara yuridis formal walaupun realisasinya juga disesuaikan
dengan kondisi serta peraturan perundangan yang berlaku dalam setiap negara di
dunia ini.
Namun
demikian dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Rights ini.
ternyata tidak cukup mampu untuk mecabut akar-akar penindasan di berbagai
negara. Oleh karena itu PBB secara terus-menerus berupaya untuk memperj
uangkannya. Akhirnya setelah kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga
melahiran Convenantion Economic, Social and Cultral (Perjanjian tentang
ekonomi, sosia dan budaya) dan Convenantion Civil and Political Rights
(Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik) (Asshiddiqie, 2006: 92).
III.
Penjabaran Hak-Hak Asasi Manusia dalam UUD
1945
Hak
asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filosofis
tentang hakikat manusia yang melatarbelakangi. Menurut pandangan filsafat
bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila hakikat adalah
“monopluralis”susunan kodrat manusia adalah jasmani rohani,atau raga dan
jiwa,sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan makhluk social,serta
kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makluk tuhan Yang Maha Esa.
Hal
ini juga telah ditekankan oleh The Founding Father bangsa Indonesia,misalnya
pernyataan Moh.Hatta dalam siding BPUPKI sebagai berikut: “walaupun yang
dibentuk itu Negara kekeluargaan,tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak
dari warga Negara,agar jangan sampai timbul Negara kekuasaan atau Machtstaat
Negara penindas”.
Deklarasi
bangsa Indonesia pada prinsipnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945,dan
pembukaan inilah yang merupakan sumber normative bagi hukum positif Indonesia
terutama penjabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945.
Pernyataan
tentang “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” mengandung arti bahwa dalam
deklarasi bangsa Indonesia terkandung pengakuan bahwa manusia adalah sebagai
makhlik tuhan Yang Maha Esa.Dan diteruskan dengan kata-kata”..supaya
berkehidupan Kebangsaan yang bebas...”berdasarkan pengertian ini maka bangsa
Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia untuk memeluk
agama sesuai dengan deklarasi hak-hak
asasi manusia PBB pasal 18,adanya dalam pasal UUD 1945 tercantum dalam 29
terutama ayat (2) UUD 1945.
Tujuan
Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang bersifat formal tersebut mgandung
konsekuensi bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warganya dengan
suatu Undang-undang terutama melindungi hak-hak asasinya Indonesia memiliki
cirri tujuan Negara hukum material,dalam rumusan tujuan Negara”…memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa…”
Berdasarkan
pada tujuan Negara sebagaimana terkandung dalam
pembukaan UUD 1945 tersebut,maka Negara Indonesia menjamin dan melindungi
hak-hak asasi manusia para warganya,terutama dalam dan melindungi hak-hak
manusia para warganya,terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan hidupnya
baik jasmaniah maupun rohaniah,antara lain berkaitan dengan hak- hak asasi
bidang social,politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan agama.Adapun
rincian hak- hak asasi manusia dalam pasal – pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut.
Tercantum dalam BAB XA (HAK ASASI MANUSIA) yang termuat beberapa pasal antara
lain: Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal 28 E, Pasal 28 F,
Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J.
Dalam
perjalanan sejarah kenegaraan Indonesia pelaksanaan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia di Indonesia mengalami kemajuan. Antara lain sejak
kekuasaan Rezim Soeharto telah dibentuk KOMNAS HAM, walaupun pelaksanaannya
belum optimal.
Dalam
proses reformasi dewasa mi terutama akan perlindungan hak-hak asasi manusia
semakin kuat bahkan merupakan tema sentral. Oleh karena itu jaminan hak-hak
asasi manusia sebagaimana terkandung dalam UUD 1945, mejadi semakin efektif
terutama dengan diwujudkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun
1999, tentang Hak Asasi Manusia dalam konsiderans dan ketentuan Umum pasal I
dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan miausia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan
merupakan anugrahNya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan. Serta
perlindungan harkat dan martabat manusisa. Selain hak asasi juga dalam UU No.39
tahun 1999, terkandung kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak mungkin
terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
UU
No. 39 tahun 1999 tersebut terdiri atas 105 pasal yang meliputi berbagai macam
hukum tentang hak asasi, perlindungan hak asasi, pembatasan terhadap kewenangan
penerintah serta KOMNAS HAM yang merupakan lembaga pelaksanaan atas
perlindungan hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi tersebut meliputi, hak untuk
hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.
Demi tegaknya hak asasi setiap orang maka diatur pula kewajiban dasar manusia,
antara lain kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, dan
konsekuensinya setiap orang harus tunduk kepada peraturan perundangan-undangan
yang berlaku. Selain itu juga diatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
untuk menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan hak-hak asasi manusia
tersebut yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional
yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Dengan
diundangkannya UU.No.39 tahun 1999 tentang hak-hak asasi manusia tersebut
bangsa Indonesia telah masuk pada era baru terutama dalam menegakkan masyarakat
yang demokratis yang melindungi hak-hak asasi manusia. Namun demikian sering
dalam pelaksanaannya mengalami kendala yaitu dilema antara menegakkan hukum
dengan. kebebasan sehingga kalau tidak konsisten maka akan merugikan bangsa
Indonesia sendiri.
Dalam
Undang-Undang dasar 1945 hasil amandemen 2002, telah memberikan jaminan secara
eksplisit tentang hak-hak asasi manusia, pasal 28A sampai dengan pasal 2
Jikalau dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebelurn dilakukan.
amandemen, ketentuan yang menggatur tentang jaminan hak-hak asasi manusia
dalarn Undang-Undang Dasar 1945 hasil aman demen 2002 dikembangkan menjadi
tambah pasalnya dan lebih rinci. Rincian tersebut antara lain misalnya tentang
hak-hak sosial dijamin dalam pasal 28B ayat (1), (2), pasal 28C ayat (2),pasal
28H ayat (30), hak ekonomi diatur dalam pasal 28D, ayat (2), hak politik diatur
dalam pasal 28D ayat (3), pasal 28E ayat (3), hak budaya pada pasal 28I ayat
(3), hak perlindungan hukum yang sama pada pasal 28G ayat (1), hak memeluk,
memiliki, menyimpan, mengolah, menyampaikan in formasi dan komunikasi melalui
berbagai saluran yang ada.
Konsekuensinya
pengaturan atas jaminan hak-hak asasi manusia tersebut harus diikuti dengan
pelaksanaan, serta jaminan hukum yang memadai. Untuk ketentuan yang lebih rinci
atas pelaksanaan dan penegakan hak-hak asasi tersebut, diatur dalam
Undang-Undarig No.9 tahun 1999. satu kasus yang cukup penting bagi Bangsa
Indonesia dalam menegakkan hak-hak asasi, adalah dengan dilaksanakannya
Pengadilan Ad Hoc, atas pelanggar hak-hak asasi manusia di Jakarta, atas
pelanggaran di Timur-timur. Hal ini menunjukkan kepada masyarakat
internasional, bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen atas penegakan hak-hak
asasi manusia. Memang pelaksanaan pengadilan Ad Hoc atas pelanggaran hak-hak
asasi manusia di Timur-Timur tersebut penuh dengan kepentingan-kepentingan
politik. Diatur pihak pelaksana pengadilan Ad Hoc tersebut atas desakan PBB,
yang taruhannya adalah nasib dan kredibilitas bangsa Indonesia di mata
Internasional, dipihak lain perbenturan kepentingan antara penegakan hak-hak
asasi dengan kepentingan nasional serta rasa nasionalisme sebagai bangsa
Indonesia. Dalam kenyataannya mereka-mereka yang dituduh melanggar HAM berat di
Timur-Timur pada hakikatnya bejuang demi kepentingan bangsa dan negara.
Terlepas
dari berbagai macam kelebihan dan kekurangannya, bagi kita merupakan suatu
kemajuan yang sangat berarti, karena bangsa Indonesia memiliki komitmen yang
tiaggi atas jaminan serta penegakan hak-hak asasi manusia, dalam kebidupan
kenegaraan.
Ketentuan
pasal- pasal tentang Hak Asasi Manusia dalam
Deklarasi Universal tentang Hak-hak asasi manusia PBB adalah sebagai
berikut: Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9 Pasal 10, dan Pasal 11 (1) (2), Pasal 12, Pasal 13(1-2), Pasal 14
(1-2), Pasal 15(1-2), sampai dengan 30.
IV.
Hak dan Kewajiban Warga Negara
1.
Pengertian Warga negara dan Penduduk
Syarat-syarat
utama berdirinya suatu negara merdeka adalah harus ada wilayah tertentu, ada
rakyat yang tetap dan ada pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat merupakan
kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa
wilayah dan rakyat yang tetap, namun bila negara itu tidak memiliki
pemerintahan yang berdaulat secara nasional, maka negara itu belum dapat
disebut sebagai negara merdeka.
Warga
negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam
hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warganegara dan negara,
warganegara mempunyai kewajiban kewajiban terhadap negara dan sebaliknya
warganegara juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh
negara.
Dalam
hubungan internasional di setiap wilayah negara selalu ada warga negara dan
orang asing yang semuanya disebut penduduk. Setiap warganegara adalah penduduk
suatu negara, sedangkan setiap penduduk belum tentu warganegara, karena mungkin
orang asing.
Penduduk
suatu negara mencakup warganegara dan orang asing, yang memiliki hubungan
berbeda dengan negara. Setiap warganegara mempunyai hubungan yang tak terputus
meskipun dia bertempat tinggal di luar negeri. Sedangkan seorang asing hanya
mempunyai hubungan selama dia bertempat tinggal di wilayah negara tersebut.
Menurut
UUD 1945, negara melindungi segenap penduduk misalnya dalam pasal 29 (2)
disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Di bagian lain UUD 1945 menyebutkan hak-hak khusus untuk warganegara,
misasnya dalam pasal 27 (2) yang menyebutkan “Tiap-tiap warganegara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan dalam pasal 31 (1)
yang menyebutkan “Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran”.
2.
Asas-asas Kewarganegaraan
a.
Asas ius-sanguinis dan asas ius-soli
negara
yang berdaulat berhak untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi
warganegara dengan syarat menjadi warganegara dalam ilmu tata negara dikenal
adanya dua asas Kewarganegaraan, yaitu asas ius-sanguinis dan asas ius-soli.
Asas ius-soli adalah asas daerah kelahiran, artinya bahwa status
Kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya di negara A
tersebut. Sedangkan asas ius-sanguinis adalah asas keturunan atau hubungan
darah, artinya bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh orangtuannya.
Seseorang adalah warga negara B karena orangtuanya adalah warganegara B.
b.
Bipatride dan apatride
Dalam
hubungan antar negara seseorang dapat pindah tempat dan berdomisili di negara
lain. Apabila seseorang atau keluarga yang bertempat tinggal di negeri lain
melahirkan anak, maka status Kewarganegaraan anak ini tergantung pada asas yang
berlaku di negara tempat kelahirannya dan yang berlaku di negara orangtuanya.
Perbedaan asas yang dianut oleh negara yang lain, misalnya negara A menganut
asas ius-sanguinis sedangkan negara B menganut asas ius-soli, hal ini dapat
menibulkan status biptride alau apatride pada anak dan orangtua yang
berimigrasi di antara kedua negara tersebut.
Bipatride
(dwi Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan dan dua negara terkait
seseorang dianggap sebagai warganegara kedua negara itu. Misalnya, Adi dan Ani
adalah suami istri yang berstatus warga negara A namun mereka berdomisili di
negara B. negara A menganut asas ius-sanguinis dan negara B men ganut asas
ius-soli. Kemudian lahirlah anak mereka, Dani. Menurut negara A yang menganut
asas ius-sanguinis, Dani adalah warga negaranya karena mengikuti
Kewarganegaraan orang tuanya. Menurut negara B yang menganut ius-soli, Dani
juga warga negaranya, karena tempat kelahirannya adalah di negara B. Dengan
demikian Dani mempunyai status dua Kewarganegaraan atau bipatride.
Sedangkan
apatride (tanpa Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan
Kewarganegaraan, seseorang tidak diakui sebagai warganegara dan negara manapun.
Misalnya, Agus dan Ira adalah suami istri yang berstatus warganegara B yang
berasas ius-soli Mereka berdomisili di negara A yang berasas ius-sanguinis.
Kemudjan lahirlah anak mereka, Budi, menurut negara A, Budi tidak diakui
sebagai warganegaranya, karena orangtuanya bukan warganegaranya. Begitu pula
menurut negara B, Budi tidak diakui sebagai warganegaranya, karena lahir di
wilayah negara lain. Dengan demikian Budi tidak mempunyai Kewarganegaraan atau
apatride.
3. Hak dan
Kewajiban Warga Negara menurut UUD 1945
Pasal-pasal
UUD 1945 yang meenetapkan hak dan kewajiban warganegara mencakup pasal-pasal
27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34.
a.
Pasal 27 ayat (1) menetapkan hak warganegara
yang sama dalam, hukum dan pemerintahan, serta kewajiban untuk menjunjung hukum
dan pemerintahan.
b.
Pasal 27 ayat (2) menetapkan hak warganegara
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
c.
Pasal 27 ayat (3) dalam perubahan kedua UUD
1945 menetapkan hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.
d.
Pasal 28 menetapkan hak kemerdekaan
warganegara untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan.
e.
Pasal 29 ayat (2) menyebutkan adanya hak
kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya.
f.
Pasal 30 ayat (1) dalam perubahan kedua UUD
1945 menyebutkan hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
g.
Pasal 31 ayat (1) meriyebutkan bahwa tiap-tiap
warga negara berhak mendapat pengajaran.[16]
4.
Hak Dan Kewajiban Bela Negara
a.
Pengertian
Pembelaan
negara atau bela negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang
teratur, menyeluruh terpadu dan berlanjut yarg dilandasi oleh kecintaan pada
tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Bagi warganegara
Indonesia, usaha pembelaan negara dilandasi oleh kecintaan pada tanah air
(wilayah Nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara indonesia dengan
keyakiran pada Pancasila sebagai dasar negara serta berpijak pada UUD 1945
sebagai konstitusi negara.
Wujud
dan usaha bela negara adalah kesiapan dan keretaan Setiap warganegara untuk
berkorban demi mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara, persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional,
Serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
b.
Asas Demokrasi dalam Pembelaan Negara
Berdasarkan
pasal 27 ayat (3) dalam Perubahan Kedua UUD 1945, bahwa usaha bela negara
merupakan hak dan kewajiban setiap warganegara. Hal ini menunjukkan adanya asas
demokrasi dalam pembelaan negara yang mencakup dua arti. Pertama, bahwa setiap
warganegara turut serta dalam menentukan kebijakan tentang pernbelaan negara
melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan
perundang-undangan yang berlaku. Kedua, bahwa setiap warganegara harus turut
serta dalam setiap usaha pembelaan negara, sesuai dengan kemampuan dan
profesinya masing-masing.
c.
Motivasi dalam Pembelaan Negara
Usaha
pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warganegara akan hak dan
kewajibannya. Kesadarannya demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi
untuk mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Proses
motivasi untuk pernbelaan negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga
memahami keunggulan dan kelebihan negara dan bangsanya. Disamping itu setiap
warga negara hendaknya juga memahami kemungkinan segala macam ancaman terhadap
eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Dalam hal ini ada beberapa dasar
pemikiran yang dapat dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warga negara untuk
ikut serta membela negara Indonesia.
1) Pengalaman sejarah perjuangan RI.
2) Kedudukan wilayah geografis Nusantara
yang strategis.
3) Keadaan penduduk (demografis) yang besar.
4) Kekayaan sumber daya alam.
5) Perkembagan dan kemajuan IPTEK di bidang
persenjataan.
6) Kemungkinan timbulnya bencana perang.[18]
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rule
of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan
dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang objektif,
tidak memihak, tidak personal dan otonom. Inti Rule of Law adalah jaminan
adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan sosial.
Rule
of Law sangat diperlukan untuk negara seperti Indonesia karena akan mewujudkan
keadilan. Tetapi harus mengacu pada orang yang ada di dalamnya yaitu
orang-orang yang jujur tidak memihak dan hanya memikirkan keadilan tidak
terkotori hal yang buruk.
Ada
tidaknya Rule of Law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah
rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesama warga Negara
maupun pemerintah.
Friedman (1959) membedakan Rule
of Law menjadi dua yaitu:
Pertama, pengertian
secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang
terorganisasi (organized public power), misalnya nrgara. Kedua, secara
hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya
karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law).
Prinsip-prinsip
Rule of Law secara formal tertera dalam
pembukaan UUD 1945. Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal
termuat didalam pasal-pasal UUD 1945. Agar kita dapat menikmati keadilan maka
seluruh aspek Negara harus bersih, jujur, mentaati undang-undang, juga
bertanggung jawab, dan menjalankan UU 1945 dengan baik. Negara hukum adalah
suatu doktrin dalam ilmu hukum yang telah muncul sejak abad 19 di Eropa, negara
hukum terjemahan dari Rule of Law.
DAFTAR PUSTAKA
H.Kaelan,M.S. & H.Achmad
Zubaidi,MS.i, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Paradigma, 2010)